
Purbalingga, Jawa Tengah – PNN NEWS – Tragedi yang menimpa AS, siswi kelas 6 SD Negeri 2 Panican, Kamis 17 April 2025, mengguncang nurani publik dan menyorot tajam dugaan kelalaian medis di Klinik Kita. Kematian AS tak sekadar menyayat hati, tetapi juga menjadi cermin kelam lemahnya sistem layanan kesehatan dasar, ketika nyawa anak-anak terabaikan di tengah prosedur yang dilanggar dan tanggung jawab profesional yang dipertanyakan.
Menurut kesaksian D, saksi mata di lokasi, AS tiba di Klinik Kita dalam kondisi kritis. Alih-alih mendapat penanganan darurat, pihak klinik justru segera merujuk pasien ke rumah sakit lain—tanpa disertai surat rujukan, tanpa pendamping medis, dan bahkan tanpa tabung oksigen. Permintaan ambulans ditanggapi dengan jawaban yang mengejutkan: “Di sini tidak ada ambulans.”

Y, saksi lain yang turut mengantar AS, mengungkapkan bahwa evakuasi dilakukan menggunakan angkutan umum. Tanpa fasilitas penunjang atau pendamping medis, rujukan tersebut jauh dari prosedur standar gawat darurat dan memperparah kondisi pasien yang semestinya mendapatkan prioritas penanganan.
Saksi U menambahkan bahwa saat di klinik hanya ada dua perawat, tanpa kehadiran dokter. “Kondisi AS sempat membaik setelah diberi oksigen—bibir dan wajahnya mulai tampak normal. Namun tanpa pemeriksaan medis yang layak, ia langsung dirujuk begitu saja. Tidak ada kejelasan, tidak ada tanggung jawab. Semuanya seperti formalitas,” ujarnya.
Peristiwa ini tidak bisa direduksi sebagai insiden malpraktik individual. Ia menyiratkan potensi pembiaran sistematis dalam pelayanan kesehatan primer. Ketidakhadiran dokter, nihilnya ambulans, dan kelalaian prosedural menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini semata kesalahan personel atau refleksi dari sistem yang telah lama diabaikan?
Menanggapi tudingan tersebut, pemilik Klinik Kita, dr. Ujang, membantah adanya kelalaian. Ia menyatakan bahwa kondisi AS sudah sangat kritis saat datang ke klinik. *“Pasien punya riwayat kejang dan sering pingsan. Kami sudah berusaha semampunya,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa proses evakuasi terhambat oleh pagar sekolah yang terkunci. “Setelah kondisi pasien memburuk, kami langsung arahkan untuk dibawa ke rumah sakit,” tambahnya.
Sementara itu, staf Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Dwi, menekankan pentingnya pelaksanaan prosedur rujukan yang sesuai standar. Ia menjelaskan bahwa proses rujukan harus melalui enam tahapan:
- Dokter jaga atau DPJP membuat surat rujukan,
- Petugas menghubungi rumah sakit rujukan,
- Ambulans disiapkan,
- Berkas pasien dilengkapi,
- Pendamping medis disediakan,
- Administrasi pasien diselesaikan.
Tragedi ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor kesehatan. Saat prosedur diabaikan dan tanggung jawab dikaburkan, yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia. Kini, lebih dari sekadar mencari siapa yang salah, saatnya menuntut sistem yang benar-benar berpihak pada keselamatan—terutama bagi mereka yang paling rentan.