
Semarang PNN NEWS– Musyawarah Provinsi (Musprov) Taekwondo Jawa Tengah berakhir dengan kontroversi setelah 26 kabupaten/kota memutuskan untuk walk out. Keputusan ini diambil sebagai bentuk protes terhadap dugaan ketidaktransparanan dalam pemilihan pimpinan sidang.
Ketua Pengurus Cabang Taekwondo Indonesia (TI) Kabupaten Sukoharjo, Sabeum Joko Pramono, mengungkapkan bahwa proses pemilihan yang dipimpin oleh Hasan dinilai tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi.

Joko menegaskan bahwa pemilihan seharusnya dilakukan berdasarkan prosedur yang jelas dan transparan. Namun, pimpinan sidang justru mengambil keputusan secara subjektif tanpa melibatkan peserta secara demokratis.
Hal senada diungkapkan Ketua Pengkab TI Wonosobo, Dwi Nugroho, yang juga menyatakan kekecewaannya terhadap proses Musprov tersebut.
Pasal 11 dan 12 AD/ART Taekwondo menyebutkan bahwa pimpinan sidang harus dipilih secara aklamasi oleh peserta Musprov. Namun, hal ini tidak dilakukan sesuai ketentuan,” ungkap Dwi kepada wartawan, Minggu (9/2).
Dwi menambahkan bahwa dalam AD/ART, jika tidak tercapai musyawarah mufakat, maka keputusan seharusnya diambil dengan suara terbanyak (50% + 1). Namun, dalam Musprov kali ini, mekanisme tersebut diabaikan.
Selain itu, Dwi mengungkapkan bahwa pimpinan sidang menjadikan keputusan Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI) sebagai acuan dalam menetapkan jumlah anggota dalam pemilihan. Hal ini tetap dilakukan meskipun sebagian besar peserta Musprov tidak menyetujui keputusan tersebut.

Para anggota yang walk out berharap agar Musprov Taekwondo dapat dilaksanakan dengan lebih transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Dukungan terhadap calon ketua sebenarnya sudah ada, namun karena proses yang dinilai tidak adil dan tidak transparan, kami memilih walk out sebagai bentuk penolakan,” tambahnya.
Sesuai dengan AD/ART, Musprov hanya sah jika dihadiri oleh 2/3 anggota. Jika jumlah peserta yang hadir kurang dari ketentuan tersebut, maka Musprov berpotensi dianggap tidak sah dan perlu diulang.
Dari informasi yang dihimpun, 26 kabupaten/kota berencana membawa permasalahan ini ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (BAORI) untuk penyelesaian lebih lanjut.