Karawang, 2 Juli 2025 —PNN NEWS – Aksi premanisme yang mengatasnamakan debt collector kembali mencoreng rasa aman publik di wilayah Bekasi, Cikarang, dan Karawang. Insiden terbaru terjadi di Karawang, ketika sekelompok orang yang mengklaim sebagai debt collector secara paksa merampas kendaraan di jalan umum. Peristiwa ini bukan hanya menambah panjang daftar kekerasan oleh pihak tak berwenang, tetapi juga memperlihatkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku serupa.
Menanggapi kasus tersebut, time redaksi Media Penanusantara bersama kuasa hukum korban mendatangi Polres Karawang untuk mendorong penanganan hukum yang serius, cepat, dan transparan.
Unit 2 Jatanras Polres Karawang menyatakan bahwa laporan sudah diterima dan tengah dalam proses penyelidikan.
“Kasus ini sedang kami tangani. Besok, Kamis, pelapor akan kami panggil untuk dimintai keterangan tambahan,” ujar salah satu penyidik Unit 2 Jatanras.
Korban, Nursuyatno, pemilik kendaraan yang dirampas, berharap hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
“Saya menuntut keadilan. Jangan sampai pelaku dibiarkan bebas dan korban-korban baru kembali berjatuhan,” tegasnya.
Penarikan Paksa Tanpa Legalitas: Kejahatan, Bukan Sengketa Perdata
Kuasa hukum korban, Advokat Rasmono, S.H., menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum debt collector bukan sekadar pelanggaran hukum perdata, tetapi sudah masuk ranah pidana berat. Ia menyebut praktik penarikan kendaraan secara paksa di jalanan adalah bentuk perampasan yang melawan hukum.
“Mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011, satu-satunya pihak yang berwenang melakukan eksekusi adalah juru sita pengadilan yang didampingi aparat kepolisian. Debt collector tidak punya kewenangan hukum untuk melakukan eksekusi di lapangan,” tegas Rasmono.
Ia juga menekankan pentingnya kepatuhan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.010/2012, yang mewajibkan perusahaan pembiayaan untuk mendaftarkan jaminan fidusia sebelum dapat mengeksekusi objek jaminan.
“Tanpa pendaftaran fidusia, tidak ada dasar hukum untuk melakukan penarikan. Dan jika eksekusi dilakukan tanpa persetujuan debitur, maka harus melalui pengadilan,” tambahnya, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tindakan penarikan kendaraan secara paksa di jalan umum memenuhi unsur pidana.
“Kalau dilakukan di rumah, itu pencurian. Kalau di jalan, itu perampasan. Keduanya adalah tindak pidana dan bisa dijerat dengan Pasal 368 dan Pasal 365 KUHP,” pungkas Rasmono.
Peringatan Keras bagi Aparat: Jangan Biarkan Hukum Dilanggar di Depan Mata
Kasus ini menjadi peringatan serius bagi aparat penegak hukum agar tidak membiarkan praktik kekerasan dan intimidasi oleh oknum debt collector terus berlangsung. Pembiaran hanya akan memperkuat anggapan bahwa para pelaku kebal hukum.
Polri didesak untuk bertindak cepat, tegas, dan tidak kompromi dalam menangani laporan masyarakat, serta memberikan perlindungan maksimal kepada para korban.
Masyarakat pun diimbau untuk tidak takut melapor jika mengalami intimidasi atau kekerasan dari pihak debt collector. Segera laporkan ke kantor polisi terdekat dan konsultasikan ke kuasa hukum untuk mendapatkan pendampingan hukum yang memadai.