PNN NEWS – Kapolri telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Kepala Unit Reserse dan Kapolda untuk melaksanakan Operasi Penertiban Premanisme. Surat ini memfokuskan pada penertiban debt collector atau yang dikenal sebagai mata elang, dengan instruksi untuk mendata, menindak sesuai hukum, serta menunggu petunjuk lebih lanjut dari Polda.
Surat tersebut juga menggarisbawahi bahwa jika ditemukan debt collector yang beroperasi, mereka harus segera diamankan, diperiksa, dan jika terbukti membawa senjata tajam, tindakan hukum harus segera diambil. Selain itu, perusahaan leasing akan dipanggil untuk diberi peringatan agar tidak melakukan tindakan perampasan di jalanan.
Namun, meskipun terdapat peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur hal ini, keberadaan debt collector semakin merajalela, terutama di wilayah hukum Polda Jawa Tengah, termasuk di Kabupaten Purbalingga. Salah satu korban terbaru adalah Trisusilo, seorang sopir truk dari Desa Karang Klesem, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga.
Trisusilo mengungkapkan bahwa saat sedang melakukan pengiriman beras ke Bulog, ia didatangi oleh lima orang berbadan besar yang menggunakan mobil Avanza hitam. Mereka mengaku hendak melakukan konfirmasi dan membawanya ke kantor untuk menandatangani surat yang tidak ia pahami. “Karena takut, saya hanya mengikuti mereka,” ungkap Trisusilo.
Dodi, perwakilan dari True Finance, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari keterlambatan pembayaran selama lima bulan, yang menyebabkan dikeluarkannya Surat Kuasa Penarikan (SKP) ke pihak eksternal, PT Satria Elang Mandiri. “Berkasnya sudah masuk ke pusat dan penanganannya dilakukan di sana,” jelas Dodi. Ia juga menambahkan bahwa biaya pihak ketiga sebesar Rp 25 juta akan ditambahkan pada pokok tunggakan.
Rasmono SH, seorang ahli hukum, menegaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011, hanya juru sita pengadilan yang didampingi oleh kepolisian yang berhak menarik kendaraan dengan kredit macet, bukan preman berkedok debt collector. “Jika ada penarikan kendaraan secara paksa, itu merupakan tindak pidana,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa masalah antara nasabah dengan perusahaan pembiayaan merupakan aspek perdata, yang harus diselesaikan melalui jalur hukum. Jika terjadi wanprestasi, langkah yang tepat adalah mengajukan gugatan atau permohonan sita eksekusi ke pengadilan, seperti yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.