
Tak ada yang lebih tajam dari kata-kata yang lahir dari hati nurani. Pena jurnalis sejati tak sekadar menulis—ia menembus kebohongan, membelah tirani, dan mengguncang ketidakadilan. Tapi ketika pena berubah menjadi senjata intimidasi, alat dagang, atau pelicin kepentingan, yang tercabik bukan hanya fakta—melainkan martabat jurnalisme itu sendiri.
Hari ini, gelar “wartawan” bisa dibeli, tapi integritas tak bisa dipalsukan. Kartu pers yang seharusnya lambang tanggung jawab, kini sering jadi tiket masuk untuk menekan, mengancam, bahkan memalak. Mereka mendatangi proyek, mengintai institusi, bukan untuk mengabarkan kebenaran—melainkan mencari celah untuk menebar kepalsuan dengan bungkus legalitas.
Profesi yang dulu dijaga dengan idealisme kini tercemar oleh praktik-praktik kotor. Seolah cukup dengan mencetak ID dan mengaku “media”, seseorang bisa mengaku jurnalis. Padahal, jurnalisme bukan tentang simbol, melainkan prinsip. Tentang keberanian memilih jujur meski sulit, tentang kerja sunyi mengungkap fakta yang tak nyaman, dan tentang kesetiaan mutlak pada publik, bukan pada penguasa—apalagi pada isi amplop.
Jurnalis sejati lahir dari proses—bukan cetakan. Ia ditempa oleh medan, dilatih oleh skeptisisme, dan dibentuk oleh keberanian menyuarakan yang tak bersuara. Ia menulis dengan kesadaran bahwa satu paragraf bisa menggugah, tapi juga bisa menghancurkan. Maka ia tak bermain-main dengan fakta, karena tahu: setiap kata adalah pertaruhan moral.
Mereka yang mengatasnamakan pers tapi menjual pengaruh, bukan jurnalis. Mereka adalah penyusup, perusak ekosistem informasi, penunggang gelap profesi mulia ini. Bukan pembawa cahaya, tapi pedagang gelap di lorong-lorong etika.
Kita tak butuh lebih banyak wartawan. Kita butuh wartawan yang benar. Yang menulis karena gelisah, bukan karena lapar. Yang datang membawa suara rakyat, bukan membawa proposal. Yang berani jujur, meski harus menanggung sepi.
Jika jurnalisme ingin tetap dihormati, maka setiap pelakunya harus menjaga marwah profesi ini. Menolak menjadi alat kekuasaan. Menolak menjual nalar dan nurani. Menolak berpura-pura jadi pembela rakyat, padahal sejatinya perusak kepercayaan publik.
Karena satu berita yang jujur bisa membangun kepercayaan. Dan di tengah dunia yang sesak oleh kebisingan dan ilusi, kepercayaan adalah satu-satunya mata uang yang benar-benar bernilai—dan sekaligus paling mudah hilang.