
Banjarnegara, PNN NEWS – Setiap pasien yang mendatangi fasilitas kesehatan tentu mengharapkan pelayanan yang baik dan profesional. Namun, harapan tersebut tidak dirasakan oleh TYO saat berobat ke salah satu klinik Rumah Keperawatan Mandiri di Desa Somawangi, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, pada Kamis, 27 Februari 2025, sekitar pukul 17.00 WIB.
TYO mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang petugas kesehatan berinisial HD, yang diduga sebagai pemilik klinik tersebut dan dikenal masyarakat sebagai “Mantri.” Menurut keterangannya, ia justru diusir dan diminta mencari pengobatan di tempat lain.
Saat dikonfirmasi oleh PNN NEWS, TYO mengungkapkan bahwa dirinya tiba di klinik sekitar pukul 16.30 WIB dan mendapati tiga pasien lain sedang mengantre, menjadikannya pasien keempat dalam daftar antrean.
“Setelah beberapa saat, Mantri HD datang dan mulai memanggil pasien pertama. Pemeriksaan berlangsung normal dan tidak terlalu lama,” ujar TYO.
Namun, situasi berubah saat pasien kedua menjalani pemeriksaan, yang menurut TYO berlangsung lebih lama dari biasanya. Hal ini membuat beberapa pasien dalam antrean bertanya-tanya.
“Orang tua saya kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada Mantri HD mengapa pemeriksaan begitu lama. Namun, di luar dugaan, petugas tersebut merespons dengan nada kasar dan justru mengusir kami, menyuruh mencari pengobatan di tempat lain,” ungkapnya.
Setelah pasien kedua selesai ditangani, HD kembali ke ruang tunggu dan, menurut TYO, kembali mengusir orang tuanya. Akibat kejadian tersebut, TYO beserta keluarganya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan klinik dan membatalkan niat berobat.
PNN NEWS mencoba mengonfirmasi kejadian ini kepada HD. Ia membenarkan adanya insiden tersebut, tetapi memberikan penjelasan berbeda mengenai kronologi kejadian.
“Benar memang ada kejadian itu. Saat itu saya sedang menangani pasien dengan patah tulang. Kemudian bapaknya Dewi melihat dari jendela dan saya bertanya, ‘Ada apa, Pak?’ Lalu beliau langsung berkata dengan nada tinggi, ‘Yang ditangani yang sakit dulu, bukan yang konsultasi.’ Saya jujur terkejut karena selama 21 tahun menjadi tenaga kesehatan belum pernah dibentak seperti itu. Karena merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi keluarganya, saya menyarankan mereka mencari pengobatan di tempat lain,” jelas HD.
Ia juga menambahkan bahwa kliniknya beroperasi di bawah pengawasan Puskesmas setempat, yang secara berkala melakukan supervisi dan evaluasi setiap enam bulan sekali.
Menanggapi kejadian ini, pakar hukum Rasmono, S.H., menyatakan bahwa perawat yang membuka praktik mandiri harus mengacu pada peraturan yang berlaku, di antaranya:
- Pasal 6 Permenkes RI Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Perawat.
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, khususnya Pasal 19, 20, 21, dan 33.
- Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 Tahun 2013, yang merupakan revisi dari Permenkes Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010.
Menurutnya, setiap perawat yang hendak melakukan praktik mandiri atau bekerja di fasilitas kesehatan wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)serta Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan.
“Dengan adanya landasan hukum ini, perawat yang terjun ke masyarakat harus benar-benar kompeten dan diakui oleh negara, yaitu dengan memiliki STR dan SIPP yang sah,” tegas Rasmono.