
Watukumpul – PNN NEWS 09/07/2035 – Dugaan praktik tidak sehat mencuat dari lingkungan Polsek Watukumpul, Kabupaten Pemalang. Seorang debitur PT Mandiri Utama Finance (MUF), Koiman, mengaku mobilnya ditarik paksa oleh debt collector sebelum batas waktu kesepakatan, bahkan dilakukan di lingkungan kantor polisi. Ironisnya, dalam voice note yang diterima korban, disebutkan adanya dugaan pemberian uang Rp2 juta kepada pihak Polsek.
Kasus bermula ketika Koiman mengambil kredit sebesar Rp50 juta pada 2023 dengan tenor 3 tahun, yang kemudian ditambah menjadi Rp100 juta. Namun, setelah 13 bulan berjalan, ia mengalami kesulitan keuangan dan menunggak cicilan selama tiga bulan. Gangguan dari para kolektor pun datang silih berganti ke rumahnya, membuat keluarga merasa tertekan.
“Karena risih dan ingin menyelesaikan secara baik-baik, saya dan pihak kolektor penzi sepakat menitipkan mobil di Polsek Watukumpul. Disepakati saya diberi waktu 2–3 hari untuk melunasi tunggakan Rp19 juta,” jelas Koiman. Kesepakatan itu, menurutnya, disaksikan oleh anggota piket di Polsek.
Namun hanya berselang 14 jam, mobilnya sudah diangkut debt collector bernama Penzi ke kantor pusat MUF. “Penzi memberi tahu lewat video bahwa mobil sudah dibawa, dan dalam voice note dia menyebut membayar uang penitipan Rp2 juta ke Polsek ,” tegas Koiman
Dikonfirmasi, Kapolsek Watukumpul mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut dan menyerahkan pada Kanit dan anggota piket. Ketika dikonfirmasi, anggota piket juga mengaku tidak tahu-menahu soal aliran dana dan hanya meminta wartawan menghubungi Kanit.
Namun, Kanit membantah keras menerima uang. Ia berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak terkait pada Senin, 8 Juli 2025. Sayangnya, hasil mediasi tidak menghasilkan kesepakatan apapun.
Penzi, debt collector yang menarik mobil, mengaku mengenal Kanit dan membenarkan niat memberikan uang sebagai “ucapan terima kasih”. Namun ia berdalih, “Saya hanya jalankan perintah atasan. Soal Rp2 juta, itu baru rencana.”
Kuasa hukum Koiman, Rasmono SH, menyebut tindakan kolektor yang menarik unit di lingkungan Polsek sebagai pelanggaran serius. Ia juga menyoroti dugaan gratifikasi.
“Penarikan unit oleh debt collector tanpa kehadiran kedua pihak dan dilakukan di kantor polisi jelas melanggar hukum. Jika benar ada aliran dana seperti disebut dalam voice note, ini bisa dikategorikan sebagai gratifikasi dan mencoreng institusi kepolisian,” tegas Rasmono.
Ia menambahkan bahwa kliennya sudah tiga kali datang ke Polsek untuk mediasi, namun selalu buntu. “Jika tidak ada itikad baik, kami akan ambil langkah hukum dan membawa masalah ini ke Mabes Polri.”
Kasus ini menyoroti persoalan klasik soal relasi gelap antara debt collector dan oknum aparat. Jika benar terjadi, ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Masyarakat kini menanti: apakah institusi kepolisian akan bersikap tegas atau membiarkan kasus ini tenggelam tanpa kejelasan?