
CILACAP | PNN NEWS-Sebuah paradoks kehidupan tengah menjadi sorotan warga Desa Karang Turi, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.Jawa Tengah.selasa.(9/12/2025).
Sosok Tri M, wanita kelahiran Jakarta Selatan yang kini menetap di sebuah rumah kontrakan sederhana, memantik polemik di tengah masyarakat.
Di balik klaim kemapanan materi yang kerap ia lontarkan, terkuak realitas kelam mengenai isolasi sosial hingga penolakan dari keluarga besarnya sendiri.
Apalagi, kehadiran Tri M di RT.07 RW.02, Desa Karang Turi, tidak sendirian. Ia tinggal bersama seorang pria bernama Mansyur, asal Pasuruan, Jawa Timur.
Kehidupan bersama mereka menuai kecurigaan karena diduga kuat dijalani tanpa status pernikahan yang sah, terlebih informasi yang beredar menyebutkan bahwa sang pria masih memiliki istri dan anak di kampung halamannya.
“Berdasarkan data yang dilaporkan, kami hanya menerima foto copy (KK dan 2 KTP a/n keduanya, dengan alamat berbeda, Mansyur dari Pasuruhan dan Tri M dari Bekasi), tanpa buku nikah, “kata Darmo, Ketua RT tempat keduanya mengontrak.
Kecurigaan publik semakin menebal tatkala menyoroti sumber pendapatan keduanya, mengingat tanpa aktivitas pekerjaan yang kasat mata, mereka mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Terlebih keduanya tinggal disitu karena di awali dengan niat untuk ritual mistik.
Warga setempat menilai perilaku Tri dan Mansyur penuh dengan “kamuflase”. Inkonsistensi ucapannya kerap menjadi buah bibir, apalagi mereka berdua terkesan menutup diri dari pergaulan dengan masyarakat.
Salah satu contoh nyata adalah klaimnya sebagai ahli kelistrikan di proyek Pasar Kroya. Namun, ironisnya, ketika instalasi listrik di kontrakannya bermasalah, ia justru bergantung pada jasa orang lain, menyusul mangkraknya proyek pembangunan pasar kroya hingga sekarang.
Keresahan ini memuncak pada desakan masyarakat agar pemerintah desa—mulai dari Ketua RT, Kepala Dusun, hingga Bhabinkamtibmas dan Babinsa—segera turun tangan.
Warga menuntut ketegasan aparat untuk menyelidiki motif keberadaan mereka, bahkan mendesak opsi pengusiran demi menjaga harmonisasi sosial jika kecurigaan tersebut terbukti benar.
Nama Tri M kian mencuat ke permukaan pasca perseteruannya dengan Sapto WBP, atau yang dikenal sebagai “Juragan Belis”.
Konflik ini bahkan telah bergulir ke ranah hukum, karena Tri M melaporkan Sapto ke Polresta Cilacap.
Padahal, dalam beberapa kesempatan dia telah mengeluarkan pernyataan ke berbagai pihak, klo permasalahan dengan Juragan belis, telah dianggap selesai.
“Permasalahan dengan juragan belis sudah di-anggap selesai, saya ikhlas dan menyerahkan sepenuhnya kepada yang kuasa, “kata ketua RT setempat, menirukan ucapanya tatkala dikonfirmasi dikediamanya (selasa, 9/12/2025).
Hal inilah yang mencuatkan prediksi minor publik, “apakah dia gak sadar : sudah hidupnya ngontrak, ngomongnya tidak pernah pas, penuh misteri tapi malah berani bikin ulah.
Mestinya prinsip, dimana bumi di pijak, langit harus dijunjung, bisa menginspirasi pikiranya sebelum bertindak, bukan sebaliknya, membuat kegaduhan, dengan dalih-dalih yang bertolak belakang dengan pengakuan dan pernyataanya”.
Dalam laporannya, Tri mengaku merugi sebesar Rp28.400.000. Dana tersebut diklaim sebagai biaya pembuatan Joleng atau sesaji larungan untuk ritual di tiga lokasi keramat: Gunung Srandil, Jetis, dan Mina Mratani Adiraja.
Namun, menurut versinya, sesaji tersebut tidak pernah ada saat dibutuhkan.
Kasus yang kental dengan nuansa ritual mistis ini semakin menambah stigma negatif masyarakat terhadapnya.
Fakta paling mengejutkan datang dari hasil investigasi awak media terhadap latar belakang Tri M, yang sangat bertolak belakang dengan citra “juragan kontrakan” dan “pemilik apartemen di jakarta”, yang ia bangun, pihak keluarga besar justru memberikan pernyataan menohok.
Mereka menegaskan bahwa Tri tidak memiliki aset apapun dan kini hidup dalam keterasingan.
Perwakilan keluarga, memberikan pernyataan keras dan meminta publik untuk waspada.
Keluarga juga menghimbau masyarakat agar tidak mudah mempercayai bualannya.
“Jika ada pihak yang dirugikan di kemudian hari, jangan mencari atau meminta pertanggungjawaban keluarga. Kami sudah angkat tangan,” tegasnya.
Kini, Tri M hidup dalam bayang-bayang ketidakpercayaan—baik dari lingkungan tempat tinggalnya maupun dari keluarganya sendiri.



