
Purbalingga– PNN NEWS – 18 Juni 2025 – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang semestinya menjadi wujud pelayanan gratis dari pemerintah kepada masyarakat justru diwarnai dugaan penyimpangan serius di Desa Lamuk, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Seorang oknum Kepala Dusun (Kadus) diduga menyalahgunakan wewenang dengan menyelewengkan dana iuran dari warga peserta program.
Padahal, sesuai ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, pungutan maksimal untuk wilayah Jawa dan Bali dibatasi sebesar Rp150.000 per bidang. Namun, di Desa Lamuk, warga justru diminta membayar hingga Rp350.000 Sampai Rp 450 000 per sertifikat—lebih dari dua kali lipat ketentuan resmi. Awalnya, warga menerima beban biaya tersebut dengan harapan sertifikat dapat segera diterbitkan. Namun hingga pertengahan 2025, puluhan warga belum juga menerima sertifikat yang dijanjikan, meski telah melunasi pembayaran sejak 2023.

*“Kami sudah lunas sejak tahun lalu, tapi sertifikat belum juga diterima. Kami khawatir uang yang kami bayarkan tidak pernah disetorkan ke Pokmas,” ungkap seorang warga, Senin (17/6).
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa dana yang terkumpul dari warga mencapai sekitar Rp14 juta. Dana tersebut semestinya diserahkan kepada bendahara Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk selanjutnya diteruskan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, hingga kini, dana itu dilaporkan tidak pernah masuk ke kas Pokmas.
Pihak Pemerintah Desa Lamuk membenarkan bahwa dokumen administrasi sudah dikirim ke BPN dan sertifikat telah diterbitkan. Namun, distribusinya tertahan akibat belum terpenuhinya kewajiban keuangan oleh pihak pelaksana di tingkat dusun.
“Sertifikat sudah terbit dari BPN, namun belum kami serahkan karena dana belum disetor ke Pokmas. Kami masih menunggu penyelesaian,” jelas Sekretaris Desa Lamuk.
Kepala Desa Lamuk secara terbuka mengakui adanya penyimpangan oleh salah satu perangkat desa. Pihaknya mengambil langkah mitigasi dengan menunda sementara penyerahan sertifikat demi meredam potensi gejolak sosial di masyarakat.
“Memang ada penyalahgunaan dana oleh oknum Kadus. Kami sudah mengambil tindakan internal, termasuk menahan sementara distribusi sertifikat,” tegasnya.
Setelah mempertimbangkan eskalasi keresahan warga, pemerintah desa akhirnya memutuskan untuk tetap membagikan sertifikat yang telah selesai diproses. Oknum Kadus yang diduga terlibat telah diminta menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan dana masyarakat secara bertahap.
Namun menurut praktisi hukum Rasmoono, S.H., pernyataan pengembalian tersebut tidak menghapus unsur pidana yang telah terjadi.
“Tindakan tersebut memenuhi unsur penggelapan dana dan penyalahgunaan wewenang. Surat pernyataan pengembalian hanya bersifat administratif. Proses hukum tetap harus berjalan,” tegas Rasmoono.
Ia menambahkan bahwa praktik semacam ini mencederai semangat pelayanan publik dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah desa. Rasmoono mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus ini secara profesional, transparan, dan tanpa kompromi.